Oleh:
Usman Shalehuddin
وما من دابة في الارض ولاطائر تطير بجناحيه الاامم امثالكم ما فرطنا في
الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون (الأنعام : 38)
Tak ada satupun dari binatang
yang merayap di bumi, dan tidak ada satupun burung yang terbang dengan dua
sayapnya, melainkan adalah mereka umat-umat seperti kamu. Tidak kami luputkan
dalam kitab itu sesuatu, kemudian kepada Tuhan merekalah, mereka akan
dikumpulkan. Q.S Al An’am : 38.
Badan dan nyawa manusia bukan milik dirinya, melainkan
milik Allah swt. Orang yang sakit dan tidak ada harapan sembuh kembali, haram
dibunuh dan bunuh diri.
Walaupun badan manusia yang sudah dicabut ruhnya
tidak merasakan sakit tetapi haram dimanfaatkan untuk apapun dan dengan cara
bagaimanapun. Badan manusia yang telah mati akan membusuk dan hancur, namun
tidak dapat dikatakan, daripada busuk dan hancur lebih baik dimanfaatkan.
Tubuh mayit dan anggotanya wajib diperlakukan dengan baik
dan santun sebagaimana terhadap tubuh dan anggota yang masih hidup.
عن عائشة قالت قال رسول الله ص.م. وسلم كسر عظم الميت ككسره حيا.
Dari Aisyah ia berkata, “Rasulullah saw. telah bersabda, “Mengganggu tulang mayit adalah seperti
mengganggunya ketika hidupnya”. H.R. Ibnu Majalah, Abu Daud, Al Baihaqi,
dan Ahmad. - Lihat, Sunan Ibnu Majalah II : 278; Sunan Abu Daud III:81, As
Sunanul Kubra IV : 58; Al Musnad X:9.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan pernah terjadi suatu
peristiwa
عن جابر رض قال : خرجنا مع رسول الله ص.م. في جنازة فجلس النبي صلعم. على
شفيرة القبر وجلسنا معه فاخرج الحفارعظما ساقا او عضدا فذهب ليكسره فقال رسول الله
ص.م. : لاتكسره كسرك اياه حيا ولكن دسه بجانب القبر.
Dari
Jabir r.a ia berkata, “Kami pernah keluar
bersama Rasulullah (untuk mengantarkan) jenazah,
kemudian Nabi saw. duduk di pinggir kuburan dan kami pun duduk bersamanya. Lalu
tukang gali mengeluarkan tulang betis dan lengan (dari kuburan), ia akan
mematahkannya. Rasulullah saw. bersabda, “Jangan engkau pecahkan tulang itu!
Karena kamu mematahkan tulang yang sudah mati, seperti kamu mematahkannya
ketika hidup. Kuburlah ia disamping kuburan itu”. – Bulughul Amani VIII : 80; Aunul
Mad’bud IX:24 –
Dalam sebuah keluarga, anak-anaknya menjadi ahli
obat-obatan dan kosmetik, lalu mempergunakan potongan anggota tubuh ibunya
sebagai bahan obat-obatan dan kosmetik, akan bersediakan ia mempercantik
dirinya dengan kosmetik tersebut padahal Nabi saw. bersabda;
Jangan mencaci maki orang-orang yang
sudah mati, sebab hal itu menyakitkan yang hidup. H.R. Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi 4 : 310
بسم الله الرحمن الرحيم
Mukaddadimah :
واستعينوا
بالصبر والصلاة, وانها لكبيرة إلا على الخاشعين (ألبقرة : 45)
Dan mintalah pertolongan sabar dengan sabar
dan salat, dan sesungguhnya yang demikian out sangat berat kecuali atas
orang-orang yang khususnya”.
Manusia
adalah makhluk ”Ijtima“, yang tidak bisa hidup menyendiri. karena manusia
merupakan makhluk yang paling banyak keperluannya. Oleh karena itu, keperluan
itu dapat diraih dengan hidup berhubungan dengan luar dirinya. Hal itu
disadarinya, karena bagaimanapun, kekurangan dirinya akan terpenuhi oleh orang
lain, maka dia pun harus siap menjadi pelengkap bagi kekurangan orang lain.
Kehidupan dalam satu lingkungan
yang majemuk, tidak akan terlepas dari berbagai latar belakang ; adat, budaya,
kepercayaan dan agama.
Maka dalam hal ini bagi pribadi
muslim akan menjadi masalah yang sangat
penting karena akan menyangkut berbagai masalah yang berhubungan dengan
“Aqidah“ Hal itu sudah barang tentu akan menentukan sikap, bagaimana cara
menyingkapi masalah-masalah tersebut sehingga tidah merusak Aqidahnya, karena
bagaimanapun hal itu akan berakibat “Ajrun“ dan “Wizrun “.
Ayat di atas dengan tegas
memberikan arahan kepada hamba Allah dalam menghadapi berbagai masalah, yaitu
memohon pertolongan kepadsa Allah dengan “Shalat“ dan “Sabar“ dalam pengertian taat,
menghindarkan maksiat dan ketika mendapat musibat. Dan sebagai penguatnya
adalah berupa du,a salat.
Kedua cara itu akan dirasakan
berat kecuali atas orang-orang yang kuat imannya. Apabila demikian halnya, maka
jelaslah bahwa hidup bermasyarakat dalam satu lingkungan akan terjadi saling
mempengaruhi yang terkait dengan masalah “ Agama” ( bagi umat Islam).
Hubungan Muslim dengan Orang Kafir
لاينهاكم عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم
وتقسطوا إليهم
“Allah tidak melarang ……………………orang yang tidak memerangimu
karena agama dan (tidak pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang yang berlaku adil”.
اليوم احل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم
والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم اذا آتيتموهن
أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي اخذان (المائدة :5)
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan
ahli kitab halal bagi kamu dan makanankamu bagi mereka. Dan dihalalkan bagi
kamu mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara ahli kitab
sebelum kamu, apabila kamu memberikan maskawinnya dengan tidak maksud zina dan
menjadikan mereka sebagai gundik-gundik ….”
Pada kedua
ayat di atas menunjukan bahwa bermusyarakat dengan orang-orang kufur yang mau
mengadakan hubungan dengan orang muslim tidak terlarang. Tentu selama mereka
memperhatikan hak dan kewajibannya.
Hak mereka sebagai tetangga
adalah sama dengan tetangga muslim, bahkan jika rumah mereka lebih dekat
pintunya dari pintu rumah orang Islam, maka hak mereka melebihi daripada hak
tetangga muslim lainnya yang lebih jauh pintu rumahnya.
Pada ayat di atas diungkapkan
masalah makanan (sembelihan) dan menikahi perempuan mereka. Bahkan nilai kufur
ahli kitab berbeda dengan kufur musyrik dalam hal-hal tertentu.
Namun demikian keperluan manusia
terus berkembang sesuai dengan ilmunya. Sehingga pada satu masa akan sampai
kepada masalah yang ” Musykil “ yang memerlukan perhatian dan penelitian yang
melebihi dari masalah lainnya.
Bagi orang-orang kufur yang tidak
terikat dengan “Ahkamu syar’i“ dalam menghadapi perkembangan ilmu itu dari sisi
lain (agama), namun hanya dari sisi “Ilmu duniawi”.
Menurut para ahli, segala
kegiatan manusia itu berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Maka
pemisahan kegiatan manusia atas bagian-bagian tertentu dan pengotakan bagian-bagiannya
sehingga yang satu terhalang dari yang lainnya. Maka hal ini dapat menyebabkan
disintegrasi dalam order sosial (susunan masyarakat) dan pemecahbelahan
pribadi-pribadi, padahal naluri manusia itu selalu merindukan persatuan dan
koordinasi.
Pemisahan ini telah lama terjadi
di negara-negara barat, dan telah dan atau sedang berjalan di negara kita.
Tuntutan dan tuntunan agama telah didesak dan dikesampingkan. Akhirnya yang
memegang peranan adalah keperluan jasmani saja. Hanya asfek materi ini saja yang
menjadi sumber pendorong aktivitas manusia. Jadi penggolongan
aktivitas-aktivitas manusia ini telah membuka jalan kearah timbulnya
sekularisme yang terus meluncur dengan cepat ke arah kehancuran nilai-nilai
kehidupan manusia.
Apabila demikian halnya, maka
jelaslah bahwa peradaban manusia telah mengalami pergeseran dari ”Maqashid“ ke
arah “Wasail“. Padahal pada asalnya manusia harus terlebih dahulu memperhatikan
masalah “ Maqashid “ yang dengan sendirinya masalah “ Wasail akan tercapai “.
Sebagaimana kita maklumi, bahwa
pada manusia itu akan ada kemampuan menilai. Sehingga manusia akan menjadi
makhluk yang “sadar nilai“. Apabila kita perhatikan secara seksama, nilai-nilai
itu akan tampak kepada kita lima jenis, yaitu ; nilai jasmaniyyah, nilai
’aqliyyah, nilai adabiyyah, nilai jamaliyyah dan nilai ruhaniyyah.
Apabila satu ideologi
mementingkan nilai jasmaniyyah, maka hal itu akan menjurus kepada
materialistis. Dan apabila nilai rasio, ’aqliyyah yang lebih dipentingkan, maka
akan lebih bersifat filosofis dan sebagainya.
Sebagaimana diungkapkan di atas,
bahwa peradaban barat yang sekuler itu berdasarkan materialisme. Dan bila ide
ketuhanan dimasukkan pula kedalamnya, maka itu hanyalah penambah saja, karena
memang bangsa Barat itu pernah mempercayai ide trinitas pada kurun waktu yang
lama. Mereka mempercayai trinitas, Tuhan bapak, Tuhan anak dan roh kudus,
tetapi kemudian mereka telah merubah hal itu menjadi : Wealth, Wine and Woman.
Maka inilah yang menjadi sasaran mereka yang materialistis.
Hal itu tentu akan terjadi
pekerjaan bagi para ulama, sebab bagaimanapun perkembangan ilmu akan
mempengaruhi arah berfikir bagi sebagian muslim yang hidup dalam lingkungan
majemuk. Diantara akibat perkembangan ilmu ialah masalah yang kita bahas dalam
masalah ini.
Keberadaan manusia sebagai makhluk
ijtima’i
Dalam
masalah hidup dan kehidupan, ternyata menurut pandangan Islam manusia berbeda
dengan makhluk lainnya. Sehingga untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia
diperlukan adanya Nabi dan Rasul yang membawa berbagai aturan.
Hal ini menunjukkan, bahwa manusia diwujudkan bukan hanya untuk sekedar hidup. Namun untuk beramal. Oleh karenanya, manusia diberi bekal bukan hanya
sekedar otak, namun akal.
Dengan akal manusia mampu meraih yang diperlukannya. Hal inilah yang dimaksud dengan
ungkapan ayat :
لقد كرمنا بني آدم
“Sungguh kami telah memuliakan anak
Adam”
Namun
demikian bagi manusia tidak cukup hanya sekedar adanya akal, namun perlu adanya arahan dari Yang Maha Tahu keberadaan manusia. Hal
inilah makna dari ungkapan ayat :
ان اكرمكم عند الله اتقاكم
“Sungguh yang paling taqwa diantara
kamu ialah yang paling taqwa (kepada Allah”
Oleh
karenanya wajar apabila masalah hidup dan kematian manusia diatur secara khusus
oleh Yang Maha Tahu, sehingga penyebab kematian pun ada aturan tertentu,
seperti hukum qishah, diyat dan yang lainnya. Hal itu tiada lain demi kehidupan
yang aman dan tentram bagi umat manusia.
Sehubungan dengan masalah itu,
Allah senantiasa menurunkan aturan yang sifatnya “Pencegahan“. Hal ini
terungkap dalam beberapa keterangan di bawah ini :
عن ابن مسعود, قال النبي صلعم : اول مايقضى بين الناس يوم القيامة فى
الدماء. (احمد - البخارى - مسلم – ألنسائي)
Dari Ibnu Mas’ud r.a, Nabi Saw. bersabda : ” Yang paling
dahulu akan dihisab masalah hubungan antara manusia pada hari kiamat ialah
masalah darah “.
Hadits ini
tidak bertentangan dengan hadits yang menyatakan bahwa yang pertama akan
dihisab dari seorang hambaadalah masalah salat. Karena amal manusia yang
terdiri dari beberapa kelompok amal ; qalbiyyah, lisaniyyah dan badaniyyah.
Dari masing-masing kelompok
terdiri dari “Juziyyah amal“, amal badaniyyah diantara juziyyahnya ialah shalat
dan mu’amalah. Maka dalam masalah amal badaniyyah mahdah, shalat yang paling
utama dan dalam masalah amal badaniyyah mu’amalah, darah yang paling utama
nilainya.
Oleh karena itu, masalah darah
bisa berakibat “Ajrun“ bagi satu pihak dan bisa berakibat “Wizrun“ bagi pihak
lainnya. Apabila masalah darah secara mutlak merupakan masalah yang diutamakan,
maka bagaimana halnya dengan masalah
anggota badan .
Hal ini tentu merupakan ungkapan
“ Majaz”. Bisa berarti ungkapan sebagian, namun yang dimaksud adalah
keseluruhan. Seperti ungkapan “Lahmulkhinzir”. Atau mungkin juga sebab dan
akibatnya. Dalam arti karena adanya perbuatan terhadap anggota badan yang
menyebabkan keluar darah.
Kedudukan Manusia :
Sebagaimana
dimaklumi, ketika masih hidup darah dan anggota badan, harta dan kehormatan
manusia secara keseluruhan adalah haram diganggu.
Maka demikian pula setelah wafat
anggota badannya haram diganggu. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam riwayat
berikut ini :
عن ام سلمة, قال النبي صلعم : كسر عظم الميت ككسر عظم الحي فى الاثم *
عن عائشة, قال النبي صلعم : كسر عظم الميت ككسره حيا * (احمد, أبوداود, نيل
الأوطار : 4/56)
“Dari Ummi Salamah r.a, Nabi saw.
bersabda : “Memecahkan / memotong tulang mayit adalah seperti memecahkan /
memotongnya ketika hidup, dalam hal dosanya”.
“Dari Aisyah r.a, Nabi saw. bersabda : ”Memecahkan/memotong tulang mayit
adalah seperti memecahkan / memotongnya ketika hidup“.
Imam Al-Bukhari memuat satu terjemah sebagai berikut :
باب ما يكره من المثلة وهو قطع أطراف الحيوان أو بعضها وهو حي
(فتح الباري 10/643)
Pada dalil
dan terjemah di atas, dengan
tegas menyatakan haramnya memecahkan/ memotong tulang mayit. Dan haramnya
memotong anggota badan hewan ketika masih hidup.
Apabila memotong anggota badan
hewan ketika masih hidup sudah dilarang, maka bagaimana halnya dengan memotong,
mengambil sebagian anggota badan manusia yang masih hidup atau sesudah mati. Tentu hal itu
termasuk kepada “Fahwalkhithab “.
Karena manusia diwujudkan untuk
beramal, maka sudah barang tentu setiap amal akan diminta pertanggungjawaban,
dalam hal ini tentu termasuk sarana-sarananya. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam salah satu riwayat :
عن أبي بروة الأسلمي, قال رسول الله صلعم : لاتزول قدم عبد حتى يسأل عن عمره
فيما أفناه وعن علمه فيما فعل وعن ماله من أين اكتسبه و فيما أنفقه وعن جسمه فيما
أبلاه (الترمذي, تحفة الأحوذي :7/101)
“Dari Abi Barzah Al Aslami r.a., Rasulullah Saw. bersabda : “
Dua kaki seorang hamba tidak akan maju (hari kiamat) sehingga ia ditanya
terlebih dahulu tentang umurnya, dalam hal apa dia menghabiskannya, tentang
ilmunya dalam hal apa dia melakukannya, tentang masalah harta, darimana dia
mendapatkan dan dalam hal apa dia mengeluarkannya dan tentang masalah
jasmaninya, dalam hal apa dia merusaknya”.
Dengan
beberapa dalil di atas, maka sudah jelas bahwa pada asalnya mengambil bagian
tubuh manusia itu adalah haram, baik ketika masih hidup atau sudah mati.
Namun apabila ada alasan
“Dlarurat” karena situasi dan kondisi memerlukannya. Hal ini mendapat perhatian
di kalangan para ahli. Dalam pengertian, siapa yang memerlukan, apa sebabnya
memerlukan, untuk apa memerlukan, bagaimana cara penggunaan dan bagaimana pula
cara pemindahan organ tersebut.
Namun demikian hal itu tidak
boleh dibuka secara luas, karena bagaimanapun pengertian “Boleh“ itu menunjukan
pada asalnya adalah “Haram“.
Hal itu sesuai dengan firman Allah :
غير باغ ولا عاد
"Tidak (ada unsur) harapan dan melebihi batas keperluan”.
Ternyata setelah terbuka pintu
pertama, akan (atau telah) terbuka lagi pintu kedua. Kemudian masalah itu akan
lebih berkembang, apabila mereka yang hidup dalam satu lingkungan negara yang
kaum muslimin termasuk ”Minoritas“ Bagaimana seandainya menerima/memberi
bantuan sebagaian anggota badan.
Hal ini tentu masalahnya akan lebih berkembang
lagi. Sebab menerima atau memberikan/menggunakan anggota badan sesama muslim
pun pada asalnya terlarang. Apalagi persoalan donor itu telah dimasyarakatkan
dalam lingkungan sosial yang majemuk. Hal ini akan timbul akibat-akibat yang
mengkhawatirkan.
Seandainya
“Boleh“ menerima sebagian anggota badan dari orang kufur. Hal ini perlu
dipertimbangkan lebih mendalam. Sebab apabila telah terbuka akan sulit untuk
menutupnya. Dalam tafsir Almanar ada uraian yang berhubungan dengan menikahi
perempuan merdeka ahli kitab :
وقد حذرنا في التفسير من التزوج بالكتابيات إذا خشي أن أن تجذب المرأة الرجل
إلى دينها لعلمها وجمالها وضعفت أخلاقه كما يحصل كثيرا فى هذا الزمان في تزوج بعض
ضعفاء المسلمين ببعض الأوروبيات أو غيرهن من الكتابيات فيفتنون بهن. وسد الذريعة
واجب فى الإسلام تفسير المنار :6/193)
“Dan sungguh kami kemukakan
peringatan dalam tafsir menikahi perempuan ahli kitab apabila dikhawatirkan
perempuan itu akan menarik laki-laki (muslim) kepada agamanya karena ilmu dan
kecantikannya, bersamaan lemahnya akhlak dan agama (laki-laki muslim) yang
lemah imannya menikahi perempuan Eropa atau yang lainnya dari ahli kitab. Maka
akhirnya mereka mengalami fitnah-fitnah. Oleh karena itu tindakan pencegahan
adalah wajib dalam ajaran Islam .”
Penjelasan itu meskipun
mengungkapkan dalam masalah pernikahan. Namun dari sisi persamaannya ialah
perlu sikap kehati-hatian dalam berhubungan dengan orang kufur. Sebab mereka
senantiasa mengharapkan “Tasamuh“ dari umat Islam dari berbagai hal.
Oleh karena itu kita perlu memperhatikan “Fasad dan
Dlarurat“ yang lebih luas dari hanya sekedar “Manfaat yang relatif lebih
sedikit“.
Imam Albukhori meriwayatkan sebuah riwayat sebagai
berikut :
عن عمر بن الخطاب قال : سمعت رسول الله صلعم يقول : ياأيها الناس انما
الأعمال بالنية, وانما لكل امرئ مانوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى
الله ورسوله ومن هاجر إلى دنيا يصيبها أوامرأة يتزوجها فهجرته إلى ماهجر أليه (فتح
البارس :12/327)
Dari Umar bin al-Khaththab r.a. berkata
: “ Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, Hai manusia, hanyalah amal
itu disertai niat, dan hanyalah bagi setiap orang yang dia niatkan. Maka siapa
yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena duniawi, maka pasti dia akan
mendapatkannya atau karena perempuan yang dia nikahi maka hijrahnya itu kepada
apa yang dia tuju”.
Pensyarah hadits menukil
sebuah riwayat yang berhubungan denagan hadits tersebut di atas sebagai berikut
:
وقد نقل النسفى فى "ألكافى" عن محمد بن حسن : قال ليس من أخلاق
المسلمين ألفرار من احكام الله بالحيل الموصلة الى إبطال الحق (فتح البارس
:12/329)
“Sungguh Annasafi telah menukil
dalam kitab “Alkaf“ dari Muhammad bin Husain “Tidaklah termasuk akhlak muslim
lari dari hukum-hukum Allah dengan cara telah (mencari alasan) yang bisa
menimbulkan kepada penghapusan hak (din).
Oleh karenanya, berhubungan
dengan orang kufur adalah boleh, namun meskipun boleh kita harus lebih
berhati-hati. Karena apalah hakikatnya “Manfaat duniawi” apabila berakibat
“Madlarat Ukhrawi”. Dalam arti lebih baik mewujudkan yang baik di sisi Allah
daripada baik di sisi
manusia.
Umat Islam dilarang berputus asa, namun apabila
hidup lebih “Jelek“ daripada kematian, Nabi pernah memberi arahan kepada
seorang shahabat dengan du’a :
اللهم احيني ما كنت الحياة خيرالى وتوفنى ماكنت الوفاة خيرالى
“Ya Allah, hidupkan aku seandainya hidup
lebih baik bagiku dan wafatkan aku seandainya wafat lebih baik bagiku.”
Akhirnya
Ibnu ‘ aun mengingatkan sebagai berikut :
احب ثلاثا لنفسي ولإخواني : ...... ويدع الناس إلا من خير.
“Aku menyukai tiga perkara bagiku
dan saudara-saudaraku;…........................dan meninggalkan orang-orang banyak
dari sebab akan menimbulkan kebaikan“.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar